Peran Mahasiswa Dalam Pemberantasan Korupsi

Sabtu, 25 Juni 2011
Mahasiswa sudah menjadi fitrahnya adalah pemuda yang gelisah ketika melihat sesuatu yang salah dihadapannya. Mahasiswa merupakan elemen masyarakat yang unik. Jumlahnya tidak banyak namun bangsa ini tidak terlepas dari dari pengaruhnya. Faktor yang membuat mahasiswa lebih terlihat berbeda dibanding elemen masyarakat lainnya tercermin dari nilai yang dimilikinya yaitu intelektual, idealisme dan semangat. Yang dapat dinilai oleh mahasiswa adalah mampu mengubah tatanan bangsa dan masyarakat. Dalam tinta sejarah bangsa ini mahasiswa terbukti berperan besar dalam pendobrakan masa atau orde yang berkuasa. Ketika bung karno labil, maka mahasiswa tampil ke depan memberikan semangat kepada terlaksananya tritura sehingga orde lama terhempas, kemudian lahir orde baru. Demikian halnya ketika terjadi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada orde baru, mahasiwa mempelopori perubahan membuat orde baru tumbang yang kemudian dibangun jaman reformasi.

Perjalanan sejarah mencatat demikiankah perjuangan mahasiswa dalam memperjuangkan idealisme demi terwujudnya keadilan di masyarakat. Namun, demikian perjuangan mahasiswa belumlah berakhir.  kondisi yang di hadapi mahasiswa sekarang berbeda dengan kondisi lampau. Kondisi ini yang membuat bangsa ini terpuruk dan hampir menyentuh bibir jurang kehancuran. Kondisi yang dimaksud adalah masalah korupsi yang tak kunjung tuntas dan merebak di seluruh pelosok bangsa ini. Mahasiswa harus berpandangan bahwa korupsi merupakan musuh bersama yang harus diperangi.

“Jika kita menjatuhkan tiga buah batu bata dari langit Indonesia. Maka dua diantara batu bata tersebut akan mengenai kepala koruptor”. Mungkin ungkapan tersebut tepat menggambarkan kondisi korupsi di Indonesia. Di negeri ini korupsi bukan lagi menjadi sebuah kebiasaan (habit) melainkan sudah menjadi kebudayaan (culture). Korupsi sudah menjadi seperti gurita yang tentakel-tentakelnya sudah menyelimuti negeri ini hingga ke pelosok-pelosok. Kebudayaan yang satu ini lahir dan besar karena hampir setiap instansi dan korporasi memelestarikan kebudayaan ini dan senantiasa menjaga agar kebudayaan unik ini bisa bertahan dan menjadi ciri khas bangsa. Namun kebudayaan yang satu ini harus rela mengorbankan segala bentuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat. Sehingga kebudayaan yang unik ini perlu diketahui penyebab dan penanggulangannya agar kelak kebudayaan ini punah dan digantikan kebudayaan keadilan dan transparan.

Sebelum memulai peperangan, sudah sepatutnya mengenali siapa yang menjadi musuh dalam peperangan tersebut. Musuh yang di hadapi kali ini adalah korupsi. Untuk itu mahasiswa harus mengetahui apa itu korupsi. Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus (politisi) maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Korupsi menurut hukum positif UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah perbuatan setiap orang baik pemerintah swasta yang melanggar hukum melakukan perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Penyebab terjadinya korupsi bermacam-macam dan banyak ahli mengklasifiksikan penyebab terjadinya korupsi. Salah satunya Boni Hargen, yang membagi penyebab terjadinya korupsi menjadi 3 wilayah, yaitu :

1. Wilayah individu, dikenal sebagai aspek manusia yang menyangkut moralitas  personal serta kondisi situasional seperti peluang terjadinya korupsi termasuk di dalamnya adalah faktor kemiskinan.

2. Wilayah sistem, dikenal sebagai aspek institusi/administrasi. Korupsi dianggap sebagai konsekuensi dari kerja sistem yang tidak efektif. Mekanisme kontrol yang lemah dan  kerapuhan sebuah sistem memberi peluang terjadinya korupsi.

3. Irisan antara individu dan sistem, dikenal dengan aspek sosial budaya, yang meliputi hubungan antara politisi, unsur pemerintah dan organisasi non pemerintah. Selain itu meliputi juga kultur masyarakat yang cenderung permisif dan kurang perduli dengan hal-hal yang tidak terpuji. Di samping itu terjadinya pergeseran nilai, logika, sosial, dan ekonomi yang ada dalam masyarakat.

Dari penyebab tersebut bisa di katakan bahwa bukan hanya moral dari sang koruptor yang menyebabkan mereka melakukan korupsi. Tapi faktor lain seperti aspek admisnistarsi dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Adapun dampak dari tindak korupsi bagi bangsa Indonesia sangatlah besar dan komplek. Menurut Soerjono Karni, beberapa dampak korupsi adalah rusaknya sistem tatanan masyarakat, ekonomi biaya tinggi dan sulit melakukan efisiensi, munculnya berbagai masalah sosial di masyarakat, penderitaan sebagian besar masyarakat di sektor ekonomi, administrasi, politik, maupun hukum, yang pada akhirnya menimbulkan sikap frustasi, ketidak percayaan, apatis terhadap pemerintah  yang berdampak kontraproduktif terhadap pembangunan.

Hancur Karena Korupsi

Dengan kata lain bahwa korupsi dapat menghancurkan sendi-sendi organisai baik itu negara maupun korporasi. Seperti sejarah pernah menceritakn tentang kehancuran Vereenigde Oost indische Compagnie (VOC). VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalkan VOC boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah negara dalam negara. Pada 1669, VOC merupakan perusahaan pribadi terkaya dalam sepanjang sejarah, dengan lebih dari 150 perahu dagang, 40 kapal perang, 50.000 pekerja, angkatan bersenjata pribadi dengan 10.000 tentara, dan pembayaran dividen 40%.

Sejak tahun 1780-an terjadi peningkatan biaya dan menurunnya hasil penjualan, yang menyebabkan kerugian perusahaan dagang tersebut. Hal ini disebabkan oleh korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh para pegawai VOC di Asia Tenggara, dari pejabat rendah hingga pejabat tinggi, termasuk para residen. Misalnya beberapa residen Belanda memaksa rakyat untuk menyerahkan hasil produksi kepada mereka dengan harga yang sangat rendah, dan kemudian dijual lagi kepada VOC melalui kenalan atau kerabatnya yang menjadi pejabat VOC dengan harga yang sangat tinggi. Karena korupsi, lemahnya pengawasan administrasi dan kemudian konflik dengan pemerintah Belanda sehubungan dengan makin berkurangnya keuntungan yang ditransfer ke Belanda karena dikorupsi oleh para pegawai VOC di berbagai wilayah, maka kontrak VOC yang jatuh tempo pada 31 Desember 1799 tidak diperpanjang lagi dan secara resmi dibubarkan tahun 1799. Setelah dibubarkan, plesetan VOC menjadi Vergaan Onder Corruptie (Hancur karena korupsi).

Sejarah  tersebut mengajarkan bahwa perusahan yang sangat kaya sekalipun akan runtuh tak kuat menahan tekanan dari arus kebusukan korupsi. Di butuhkan formula yang ampuh untuk menaklukan pelaku korupsi atau koruptor agar mereka jera dan mengembalikan semua yang telah mereka curi, hisap dan kuras dari tangan masyarakat.  Wacana ancaman hukuman matipun menyeruak dipermukaan. Walaupun pada kenyataanya banyak koruptor yang di vonis bebas. Entah.

Membasmi korupsi ala Cina

Berbagai pihak yang cenderung memberi ancaman hukuman yang berat atas korupsi, kolusi dan nepotisme akan merujuk kearah Cina dalam membasmi dan menanggulangi masalah penyakit sosial tersebut. Di negeri tirai bambu tersebut hukuman bagi pelaku tindak pidana korupsi adalah hukuman mati. Mereka menganjurkan agar Indonesia belajar dari Cina dalam hal pembasmian korupsi. Namun jika dilihat dan dikaji lebih dalam maka hal yang di lakukan Cina tidak akan dan sangat sulit untuk di contoh oleh Indonesia.

Berbagai usaha pembasmian dan dugaan korupsi di Cina kelihatannya seringkali mempunyai motivasi politik. Dengan dalih memerangi korupsi, lawan dan/atau para pejabat yang secara politis tidak loyal digeser dari jabatannya. Hampir semua pejabat papan atas saat ini dipandang sebagai loyalis mantan ketua partai Jiang Zimin atau menolak Hu Jintao di masa lalu. Cina tidak mengungkapkan jumlah eksekusi yng telah dilakukannya. Peradilan kriminalnya telah menjatuhkan hukuman mati atas sekitar 70 pelanggaran yang berbeda. Menurut perkiraan Amnesty International, sekitar 1770 orang dieksekusi di Cina pada tahun 2005, dan 3900 orang dijatuhi hukuman mati.

Beberapa ahli hukum Cina memperkirakan bahwa sebetulnya jumlah yang sesungguhnya jauh lebih besar, dan bahkan mungkin mendekati 8.000 eksekusi per tahun; pihak-pihak lain bahkan menyebutkan angka 10.000. Oleh media internasional, Cina diakui berhasil dalam mengundang investasi langsung luar negeri, mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan mengurangi kemiskinan. Sedangkan yang biasanya luput dari sorotan adalah kinerja peradilannya yang suram, dan sistem hukumnya yang tidak berfungsi. Menurut Amnesty International, “Di Cina, tidak seorang pun yang dijatuhi hukuman mati telah menjalani proses peradilan yang adil dan sejalan dengan standar internasional.”

Seadainya rakyat Indonesia yang kuat dan tahan akan kelakuan pejabat korup ini kehilangan kesabaran. Dari tiap opsi yang dipilih untuk hukuman terhadap koruptor pastinya proporsi tersebut akan cenderung pada hukuman mati. Namun mengingat bahwa cengkraman korupsi sangat kuat memeluk bumi Indonesia, sungguh sangat naif apabila kita percaya bahwa hukuman mati dapat membuat efek jera bagi koruptor dan memperbaiki situasi negara ini. Sebaliknya alih-alih menumpasnya, langkah semacam itu justru dapat membuat wabah korupsi semakin parah. Hukuman mati akan meningkatkan “tarif” yang dipasang oleh polisi, jaksa dan hakim atas tersangka yang mereka lindungi atau bela. Pihak ketiga juga akan merasa diuntungkan dalam melibatkan orang dalam praktek korupsi. Semakin kaya calon koruptornya, makin besar harapan mereka untuk menghindar dari hukuman mati. Praktek pemberian kelonggaran oleh peradilan dan sistem penjara akhir-akhir ini, dengan cara setiap kali memberi ”potongan” bagi kelakuan baik, memberi pengaruh buruk pada peradilan, dan menyebabkan penjara semakin kurang menakutkan. Pemerintah, berbagai profesi hukum, dan organisasi masyarakat sipil harus terus memberi informasi kepada publik mengenai jenis atau sifat korupsi di Indonesia agar debat dapat berlangsung.

Hukuman yang patut di jatuhkan kepada  para koruptor selain dari mereka harus mengembalikan uang negara dan menjalani hukuman pidana. Para koruptor harus membayar prilaku busuk mereka dengan bekerja sosial seperti membersihkan jalanan, toilet umum atau sungai-sungai yang bermaterikan gunungan sampah dan berbau busuk. Dan penanaman rasa benci pada koruptor agar efek jera lebih terasa ketimbang hukuman mati apalagi sekedar hukuman penjara yang akhir-akhir ini penjara laksana hotel berbintang empat.

Strategi Pemberantasan Korupsi

Usaha, daya dan upaya untuk memberantas korupsi bukanlah hal yang mudah. Dari pengalaman berbagai negara yang dianggap sukses dalam hal pembererantasan korupsi maka seluruh eleman masyarakat harus diajak dan dilibatkan secara langsung untuk membasmi korupsi dengan cara-cara yang simultan.

Dalam upaya pemberantasan korupsi meliputi beberapa prinsip yang perlu di perhatikan yaitu penyebab mengapa korupsi bisa terjadi, langkah pencegahan, langkah pengusutan, langkah pendidikan korupsi dan penguatan terhadap intitusi pemberantasan korupsi yang dilakukan secara bersama-sama. Tindakan pemberantasan dilakukan dari mulai perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pematuhan peraturan yang berpotensi terjadi tindak pidana korupsi.

Disamping itu penguatan akan dogma-dogma perlu ditanamkan kembali ke dalam jiwa masyarakat dan di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena di dalam agama apapun perbuatan yang merugikan orang lain apalagi orang banyak tidak dibenarkan dengan alasan apapun.

Peran Mahasiswa dalam Pemberantasan Korupsi

Selain mengenal tentang hal yang berhububungan dengan korupsi dan strategi penanggulangannya. Perlu juga mengenal dirinya guna dapat mementukan strategi apa yang aka digunakan. Berkaitan dengan hal tersebut, mahasiswa perlu mengenal siapa dirinya, apa  potensinya dan bagaimana memanfaatkannya untuk menanggulangi korupsi. Mahasiswa bisa di lihat dari berbagai sisi. Mahasiswa yang pada dasarnya adalah peserta didik di perguruan tinggi yang kelak akan di proyeksikan menjadi ekonom, politikus, pejabat, teknisi, pengacara atau ahli dibidang lainnya. Dari sisi ini bisa dikatakan bahwa mahasiswa merupakan kaum intelektual. Namun sikap intelektual saja tidak cukup untuk mencegah terjadinya tindakan egois, serakah, korupsi dan  lain sebaginya. Dipelukan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Tapi disisi lain mahasiswa juga merupakan sosial kontrol, yang menggawasi tiap kebijakan yang di keluarkan oleh pemerintah. Dan juga melakukan pengawasan jika ada terjadi penyimpangan terhadap sistem, norma dan nilai-nilai dalam masyarakat.

Dalam usaha untuk melakukan mempengaruhi keputusan politik dapat dilakukan dengan cara membangun opini, seminar atau diskusi dengan pihak-pihak yang berkompeten. Selain itu akses mahasiswa dengan mahasiswa di perguruan tinggi lain atau dengan lembaga swadaya masyarakat membuat mahasiswa mempunyai jaringan yang luas. Sehingga dalam pengumpulan masa untuk melakukan demontrasi dapat dilakuan dengan sebagi upaya untuk menekan pemerintah.

Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat. Yang merupakan pendorong dan pemberi semangat sekaligus sebagi contoh prilaku terpuji. Peran mahasiswa di masyarakat adalah sebagai social control dan agent of change. Terbukti dari peran mahasiswa dalam penjatuhan rezim pemerintahan.
Related Posts Widget For Blogger with ThumbnailsBlogger Widgets

Kejujuran Seorang Politisi

Jujurkah seorang politisi? Pertanyaan ini menarik untuk didiskusikan. Meskipun bila kita melakukan Survei kepada masyarakat dengan tiga opsi jawaban yaitu, JUJUR, TIDAK JUJUR dan TIDAK TAHU,   kemungkinan jawaban dari koresponden (mungkin) hampir 80% koresponden akan menjawab tidak jujur. Sebagian yang lain yang menjawab tidak tahu, dan sangat sedikit yang akan menjawab jujur. Ini hanya kemungkinan, bisa jadi malah sebaliknya, tergantung siapa yang akan menjadi objek penelitian.

Bila masalah ini kemudian kita kaitkan dengan polemik yang berkaitan dengan pernyataan seorang Ketua DPR-RI Marzuki Alie (MA) baru-baru ini dalam rangka menanggapi bencana alam di mentawai, yang Memberi stigma negatif kepada para penduduk yang bermukim di pulau-pulau rawan bencana. MA megatakan sebagaimana dikutip media: Jika masyarakat Mentawai takut ombak, seharusnya pindah ke daratan saja. Bencana yang menimpa pulau di Sumatera Barat tersebut adalah risiko masyarakat yang tinggal disitu.  Memang pernyataan itu membuat kita sangat terluka. Apalagi MA adalah ketua DPR yang notabenenya adalah seorang politikus.

Banyak yang menyesalkan pernyataan MA itu. Namun di sisi yang lain, apa yang diucapkan itu adalah sebuah kejujuran.  Artinya, memang demikianlah yang sebenarnya sikap politisi kita. Sebab namanya  saja seorang politisi.

Sebenarnya, bila jujur kita menilainya, banyak politisi  politisi itu penuh dengan kepura-puraan.  Bila hari ini bilang A bila besok situasinya lain, maka dia akan bilang sesuai dengan situasi besok. Bila banyak politisi mengatakan simpati, sesungguhnya yang benar itu seperti apa yang disampaikan oleh MA. Kata orang nama saja politisi.

Pernah suatu ketika seorang teman bercerita. Bahwa saya sudah bertemu dengan si polan (kebetulan si polan itu selama ini dikenal sebagai politisi handal) berkaitan dengan masalah yang menimpanya. Pada saat itu dengan semangat yang berapi-api teman saya itu menggatakan masalah ini akan selesai sebab si fulan  itu sudah menjanjikan penyelesaiannya dengan segala cara. Namun, seorang teman saya yang satu lagi tertawa terbahak-bahak mendengar sikap teman saya tadi dengan penuh sumringah dan semangat. Teman saya yang terbahak-bahak itu mengatakan: “Kamu pada seorang politisipun percaya”. Katanya lagi, seorang politisi itu memang akan mengatakan seperti itu tapi lihatlah kenyataannya nanti. Pasti dia akan katakan, “O, saya sudah usahakan namun tidak berhasil”.

Contoh lain, pada saat mereka akan mencalon diri menjadi calon anggota perlemen dalam  Pemilu. Untuk kepentingan mereka agar dapat terpilih atau dalam rangka mencari simpatik pemilih, sering kita lihat mereka ini bahkan dengan semangat yang mengebu-ngebu akan membuat perjanjian-perjanjian tertentu dengan menaruh besar-besar tandatangan di atas kertas agar ketika terpilih nanti ini harus diperjuangkan. Bahkan tidak jarang ada yang mengundang pers, agar apa yang dilakukan itu di muat di media massa. Tetapi setelah mereka terpilih, ketika pernyataan itu disodorkan kembali, pasti mereka punya berbagai alasan.

Atau kita lihat, ketika mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran dengan membawa berbagai tuntutan. Mereka di hadapan para demonstran juga akan mengatakan hal yang serupa. Bahkan kami akan memperjuangkan apa yang anda perjuangkan. Tetapi ketika tuntutan itu reda, atau demonstrasi bubar, hasilnya juga tidak ada.

Memang,  pada kenyataan banyak yang bersikap demikian, memberikan harapan-harapan kepada semua orang. Prinsip mereka, tidak boleh sedikit mengecewakan orang. Berikan mereka harapan-harapan meskipun itu hanya pelipur lara saja. Meskipun dia tahu bahwa apa yang dikatakan itu tidak mungkin diselesaikan.

Oleh karena itu, sikap MA itu bisa kita artikan itulah sikap seorang politisi yang sebenarnya. MA telah terlalu berlaku sikap jujur kepada kita semua. Sebab, tidak ada yang berani melakukan seperti itu.  Bahkan sebagian dari mereka terlalu banyak berbohong. Mengatakan simpati, tetapi sebenarnya tidak simpati. Kejujuran seorang MA, itulah yang sesungguhnya kejujuran seorang politisi. Meskipun masih ada juga yang tidak seperti itu. Untuk yang terakhir ini, bila kita melakukan survei kepada masyarakat pasti jawabannya dalam persentasi yang sangat-sangat kecil.

ARUS BALIK KOMUNIKASI POLITIK

POLITIK itu politik. Politik bukan teori, tetapi praktik. Karena itu seluhur apa pun teori politik, di lapangan pelaksanaannya sering menjadi lain. Praktik politik acapkali berbeda jauh, bahkan bertentangan, dengan teori politik. Di lapangan, politik mengajarkan dan membentuk sikap serta perilaku berorientasi kekuasaan. Ini bisa dimengerti, karena pragmatisme politik, umunnya berada dalam bingkai kekuasaan. Baik untuk mempertahankan kekuasaan, atau guna merebut kekuasaan.


Demikian pula dengan komunikasi politik. Berbagai temuan, sebagaimana diuraikan Dan Nimmo, George N Gordon, James Carey, Marshall McLuhan, Jalaluddin Rakhmat, dan pakar komunikasi politik lain dalam berbagai karya ilmiah mereka, terlalu lancang atau tergesa-gesa untuk meyakini bahwa komunikasi politik adalah bentuk praktis dari komunikasi strategis, persuasif dan efektif, guna memengaruhi pemilih (konstituen), terutama dalam konteks pemilu.


Strategis, persuasif, dan efektif atau tidak komunikasi politik, bergantung bukan hanya pada ”siapa, mengatakan apa, kepada siapa dan lewat media mana”, tetapi juga sangat ditentukan oleh sejauhmana saluran komunikasi politik itu dapat memosisikan diri sebagai media interpersonal, di samping berposisi selaku media publik.


Komunikasi politik pernah diungkapkan oleh Johnstone dan kawan-kawan dalam The Newspeople. Johnstone mengatakan, strategi komunikasi yang digunakan untuk mencegah informasi atau mencegah dirinya (sumber informasi) diketahui oleh orang lain, adalah kekhasan komunikasi politik interpersonal, yang terbiasa dimanfaatkan komunikasi politik.


Komunikasi interpersonal sebagai bagian realistis komunikasi politik, membuka peluang ketidaksamaan antara sumber dan destinasi, selain (sebaliknya) empati antara penyampai dan penerima pesan. Ciri-ciri itu sangat memengaruhi komunikasi interpersonal, selain juga dipengaruhi oleh situasi di sekitar wacana, serta kebutuhan psikologis dan kedekatan batin di antara mereka,


Ini berarti, di tingkat kepercayaan publik (sasaran), komunikasi politik kognitif (bermuatan informasi yang berada dalam ranah pengetahuan semata), tidak akan mampu menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap kandidat (misalnya: calon presiden/calon wakil presiden tertentu). Komunikasi kognitif hanya berkemampuan membentuk kesadaran publik, terutama tentang kondisi yang diciptakan sejumlah kandidat.Hak DemokrasiDalam jangka pendek, memang, orang belajar tentang politik lewat komunikasi politik. Melalui komunikasi politik pula, orang mencoba mengenali kandidat yang akan maju dalam perebutan kekuasaan (di Indonesia mutakhir melalui Pemilu Legeslatif dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009). Tetapi, semua itu sebatas pengenalan pribadi dan program yang ditawarkan kandidat.


Dalam jangka yang lebih panjang, kandidat yang berhasil merebut simpati sasaran (konstituen) akan berpeluang ”menguasai” komunikasi politik. Kandidat yang kurang mampu merebut simpati dan dukungan publik, menghadapi lebih banyak kendala penguasaan magnitude (keluasan) komunikasi politik, dibanding rivalnya yang sangat dikenal, apalagi dekat di hati publik.


Itulah salah satu risiko komunikasi politik. Risiko komunikasi politik dimaksud, mengakibatkan terbuka luasnya perbedaan pandangan antara pemerintah (selain anggota TNI dan Polri yang tidak memiliki hak memilih) dan masyarakat, antara negarawan dan politisi, maupun antara sesama elite, dan antar sesama massa pendukung parpol, ketika mereka menjatuhkan pilihan terhadap calon presiden dan wakil presiden.


Arus balik komunikasi politik menjelang Pilpres 2009, mengakses politik tidak bersama (tidak bersamaan pandangan, atau ketidakbersamaan kepentingan) antara sejumlah partai politik pendukung kandidat yang akan maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden.


Itu berarti, koalisi antarparpol yang akan mendukung Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati, dan Jusuf Kalla, atau lainnya merupakan perwujudan hak demokrasi warga negara yang diimplementasikan lewat mekanisme partai politik. Karena alasan itu, maka jalinan dan jaringan komunikasi politik Pilpres 2009, idealnya dilandasi oleh 5 (lima) prinsip utama komunikasi politik.


Pertama, fairness dalam arti kejujuran, keadilan, kesetaraan kedudukan, dan tanpa diskriminasi. Kedua, transparancy (keterbukaan) semua kandidat dalam menyampaikan visi dan misi, serta dalam menjanjikan program kerjanya, bila kelak terpilih sebagai Presiden/Wakil Presiden RI 2009-2014. Ketiga, accountablity dalam bentuk pertanggungjawaban kepada publik atas setiap bentuk pelayanan kepada masyarakat.


Keempat, independensi dalam arti setiap kemasan simbol komunikasi politik sang kandidat seharusnya terbebas dari segala ketergantungannya kepentingan pihak mana pun, seperti kepentingan kekuasaan, politik, ekonomi, dan lain-lain, yang pada hari kemudian dapat mengakibatkan politik balas budi sang presiden dan wakil Presiden terpilih.


Kelima, impartiality, dalam arti kandidat benar-benar memberi jaminan ketidakberpihakan mereka kepada kepada apa, siapa dan pihak mana pun kecuali, atau selain, keberpihakan kepada nilai-nilai kebenaran, keadilan dan kepentingan nasional, melebihi kepentingan kelompok pendukung.


Demokrasi Komunikasi


Praksis komunikasi politik jelang Pilpres 2009 dapat dijamin bersifat demokratis, jika proses komunikasi politik itu sendiri tidak diawali dengan kultur buruk sangka antara sejumlah kandidat yang akan maju selaku capres. Kalau kebiasaan berburuk sangka itu tidak dapat dihilangkan, jangan heran manakala arus balik komunikasi politik tersebut akan berupa rangsangan sikap serta perilaku keras/memaksa di antara pendukung para kandidat itu sendiri.Padahal, seharusnya, arus komunikasi politik adalah keterwujudan kebersamaan, bukan hanya antara pasangan capres/cawapres yang akan maju, tetapi juga di antara seluruh kelompok pendukung mereka.


Konsisten dengannya, maka komunikasi politik yang semestinya digalang oleh tim sukses semua pasangan capres/cawapres dalam Pilpres 2009, harus benar-benar dilandasi serta diarahkan kepada persamaan atau kebersamaan, di samping perbedaan atau ketidakbersamaan, lewat proses atau mekanisme komunikasi politik yang demokratis. Keduanya dimungkinkan, jika proses dan mekanisme komunikasi politik yang mereka rancang, betul-betul diposisikan dalam disain berbasis hak asasi manusia, sekaligus berlandaskan hak politik warga negara.


Karena itu, negara wajib memberikan jaminan terealisirnya komunikasi politik yang demokratis. Di samping perlunya negara memprediksi kemungkinan arus balik komunikasi politik, yang dapat merusak tatanan persatuan dan kesatuan, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


Di sinilah arti penting rambu/pembatasan bagi keberlangsungan komunikasi politik, dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI 2009-2014, yang tinggal dua bulang mendatang. Konsekuensinya adalah, komunikasi politik perlu selalu dikaitkan dengan kepentingan penegakan hak asasi manusia, terjaminnya rahasia negara, dan tidak rusaknya berbabagai bentuk kesepakatan antara negara dan warga negara yang telah terjalin jauh hari sebelumnya, terutama mempertahankan Pancasila dan NKRI.


Dari itu, sederas apa pun tuntutan demokrasi komunikasi politik jelang Pilpres 2009, arus baliknya perlu tetap dicegah dari perubahan supremasi hukum ke supremasi kekuasaan, di seluruh pelosok Nusantara. Karenanya, komunikasi politik menjelang Pilpres 2009 bukan sekadar tidak bebas nilai, dan ketat rambu, tetapi juga mengenal fatsun akibat kesadaran dan ketaatan semua pihak yang telibat dalam proses komunikasi politik itu sendiri.


Komunikasi politik sampai dan sesudah 9 Juli mendatang, tidak boleh menghalalkan cara. Termasuk di dalamnya larangan menghujat pihak lain, mempropagandakan kepentingan diri sendiri dan kelompok sendiri, serta secara terang-terangan dan kasar (vulgar) menjatuhkan pihak lain, tanpa mengindahkan norma luhur komunikasi politik itu sendiri.

Melawan Pragmatisme, Menuju Indonesia Masa Depan

Pelajar adalah penentu masadapan bangsa. Pelajar dalam makna kita adalah seluruh elemen yang masih mengenyam pendidikan. Jadi mahasiswa juga termasuk pelajar. Bukankah bahasa asing seperti Arab dan Inggis ('student' dan 'thalibun') makna untuk pelajar dan mahasiswa tidak beda. Seperti apa pendidikan yang diterapkan pemerintah, seperti itulah karakter bangsa masadepan. Pemerintah sendiri adalah organisasi yang inklusif dalam mengembangkan segala macam kebijakannya termasuk pendidikan. Seiring bergulirnya waktu pendidikan di negeri kita telah sangat banyak mengadopsi sistem pendidikan negara-negara maju. Berbicara negara maju, maka hampir semua orang sepakat Uni Eropa (UE), Australia dan Amerika Serikat (AS) sebagai standar. Proses UE dan AS menuju negara maju telah melewati masa-masa yang sampai kapanpun akan dikenang dengan sebuah kata istilah: 'Hitam'.
Untuk mendirikan AS, bangsa dari daratan Eropa telah melakukan kejahatan kemanusiaan tertinggi sepanjang sejarah (maski tidak terekspose). AS didirikan di atas tulang-benulang bangsa Indian akibat pembantaian besar-besaran oleh bangsa dari daratan Eropa akibat perlawanan Indian. Peroses mendirikan Australia juga menempuh jalur yang sama oleh bangsa yang sama terhadap pribumi Australia, suku Aborigin. Kekejaman ini tega dilakukan karena cita-cita besar bangsa Eropa lebih besar dari rasa kemanusiaan yang mereka miliki. Karakter kolektif seperti ini sulit dijelaskan melalui jalur psikologi kecuali mengatakan masing-masing mereka mengidap psikopath. Ditinjau dari sudut pandang agama, Yesus dan St. Paul tidak pernah mengaminkan hal perilaku semacam itu.
Pendidikan? Sampai abad pertengahan bangsa Eropa masih sangat memainkan sistem hidup perbedaan kelas. Sebagaimana sejarah manusia dimanapun, yang berhak memeproleh pendidikan layak hanyalah dari kaum bangsawan. Dari kalangan bangsawan inilah ilmu pengetahuan berkembang. Karakter bangsawan yang mengedepankan kesenangan meski menggilas mayoritas lainnya mereka perbolehkan karena mayoritas itu adalah budak. Mental demikian sangat mempengaruhi perang Eropa yang sangat dahsyat. Semua ingin memperoleh kenikmatan hidup dengan menindas kalangan lain. Eropa merubah paradigmanya setelah mereka menemukan daratan-daratan lain dan muncul hasrat untuk menguasai daratan-daratan yang mereka temui itu. Hasrat memperbudak sesama bangsa Eropa mereka ganti dengan upaya pembudakan terhadap penduduk dari daratan-daratan yang baru mereka jumpai. Kerajaan-kerajaan di Eropa membuat kesepakatan-kesepakatan tentang pembagian wilayah ekspansi. Misalnya, Spanyol ke Barat dan Portugal ke Timur. Setelah masing-masing kerajaan Eropa berhasil menguasai wilayah jajahannya, dan berhasil mendirikan negara besar di Timur (Australia) dan di Barat (AS) mereka bersatu untuk saling menguatkan guna menjaga wilayah kekuasaan masing-masing. Persatuan Ini disebut Uni Eropa. Peta perbudakan modern dapat dilihat dengan sangat jelas yaitu, AS, Australia dan UE sebagai tuan dan negara-negara kelas tiga sebagai budak.
Prinsip hidup yang mengedepankan raihan kesenangan meskipun harus menindas kelompok lain telah lama di pengang bangsa Eropa jauh sebelum Immanuel Kant memperkenalkan istilah 'Pragmatisme'. Prinsip pemikiran pragmatis yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok telah menjadi jalan hidup para pejabat di negeri kita. Mereka tidak pernah mau memikirkan kondisi rakyat yang menjadi tanggungjawab mereka. Pejabat di negara kita hanya memikirkan agar anak-anak mereka memperoleh pendidikan terbaik dan kalau perlu ke luar negeri dan istri mereka dapat soping sebulan sekali ke Eropa dan Amerika. Ideologi pragmatisme yang menjadi jalan hidup pejabat negeri kita dipengaruhi oleh sistem pendidikan nasional yang membentuk mereka.
Mulai dari segi konsep hingga operasional, pendidikan Indonesia hanya mementingkan hal-hal yang bersifat temporar. Untuk menentukan standar kelulusan peserta didik misalnya, penentu kebijakan menerapkan standar kelulusan yang hanya menilai peserta didik melalui kecerdasan IQ semata. IQ yang besasal dari otak, identik dengan akal dan mudah diakal-akali. Dalam sistem pengajaran guru-guru hanya memaksakan siswa melahap kurikulum sampai mulut tersumbat tanpa pernah mendidik moral, etika dan emosional peserta didik. Sementara guru sendiri hanya berfokus pada gaji di awal bulan, sertifikat dan promosi jabatan. Pejabat pemerintah bidang pendidikan merumuskan konsep-konsep yang sama-sekali tidak berpihak kepada peserta didik yang harus diposisikan dan dididik sebagai manusia. Generasi muda memang layak disibukkan dengan belajar dan belajar. Tapi pelajaran di negeri kita tidak proporsional. Manusia untuk menjadi 'manusia' tidak cukup dan tidak boleh bila osupan otak mengenai teori dan terus teori diberikan. Untuk menciptakan manusia kita harus benar-benar paham siapa itu manusia.
Manusia memiliki tiga macam wadah kecerdasan untuk diasah dan dikembangkan melalui wadah pendidikan. Namun sayangnya, sekolah di negeri kita hanya mengembangkan satu model kecerdasan saja dan mengabaikan dua yang lainnya. padahal kecerdasan yang diasah di sekolah hanya berperan 20 persen dalam kehidupan manusia. Kecerdasan ini disebut Kecerdasan Intelektual (IQ). Karena lembaga pendidikan formal (LPF) menyita semua waktu siswa maka tidak lagi terdapat waktu dan wadah untuk mengembangkan dua kecerdasan lain yang lebih bermanfaata yakin kecerdasan emosi (EQ) dan kecerdasan Spiritual (SQ).
            Hanya berbekal kecerdasan intelektual itulah manusia hidup. Bila hanya IQ modalnya, jangankan untuk mengisi hidup, bangsa kita bahkan tidak mampu memaknai hidup, apalagi mengisi makna hidup. Bangsa kita hidup hanya persis seperti hidupnya hewan, hanya tunduk pada hukum alam serba mekanistik. Daya nalar kita rendah akibat kurangnya kepekaan. Maka dengan kondisi seperti ini kita akan menjalankan kehidupan persis seekor anjing yang hanya memenuhi desakan perut temporar tanpa mampu memikirkan dampak kedepan serta rancangan-rancangan masa depan. Bila begini terus sistem pendidikan kita, maka sampai kapanpun kita akan hidup untuk bernafas, makan dan seks. Kita hanya akan memikirkan kepentingan sementara. Kita hidup dengan mengedepankan desakan naluri tanpa nalar. Akibatnya, kerusakan tatanan hidup bangsa Indonesia adalah karena mereka hanya mengedepankan kepentingan sesaat. Kita tidak mampu melihat substansi dari segala realitas dan materi.
Rok mini dan baju belah dada wanita hanya dinilai melalui penilaian sementara yaitu, indah nikmat dan wah. Kita tidak mampu memanjangkan nalar dengan menilai pakaian demikian akan mengundang banyak tindakan kekerasa. Kalau bukan dia yang diperkosa ya, orang lain karena syahwat laki-lakinya naik. Merampok & mencuri untuk dapat kawin atau main lonte. Pembunuhan karena cemburu akibat selingkuh untuk mencari paha yang mulus seperti yang dia lihat dimana itu tidak dimiliki istrinya. Semua sebab kejahatan itu tidak mampu dilihat sebab akal manusia produk SPF adalah akal yang diproduksi untuk melihat dan mencari kesenangan sesaat.
Kaum muda tidak mampu melihat efek dari konsumsi narkoba, mereka hanya mampu melihat efek nikmat sementara narkoba. Remaja putri tidak mengetahui bahwa pemicu awal konflik rumah tangga yang kadang harus segera gulung tikar atau hidup dalam sengsara adalah karena suami tidak puas menemukan kondisi istri di atas ranjang pada malam pertama. Mereka hanya mampu melihat kenikmatan-kenikmatan sementara dalam ajang pergaulan bebas dan seks pra nikah.
Kaum elit di gedung besar dalam ruangan dingin sudah pasti tak sampai akalnya memikirkan nasib rakyat yang tercekik lehernya, kering dengkulnya akibat bekerja hanya untuk membayar hutang berbunga luarbiasa besar untuk Bank dan rentenir karena kesulitan memperoleh dukungan usaha yang memihak. Tikus-tikus itu hanya mampu memutar otak untuk memperoleh komisi, mencari peluang korupsi dan menutupi bau busuk bangkai yang mereka simpan.
Budaya hidup seperti ini diakibatkan paham pragmatisme yang dianut bangsa kita. Kita telah mewariskan budaya ini secara turun-temurun. Kita terlalu takut akan kekurangan harta bila digunakan sedikit untuk berzakat. Kita lebih yakin dengan lembaga asuransi. Jaminan-jaminan yang ditawarkan asuransi lebih memikat hati daripada janji-janji Tuhan dalam Kitab Suci. Idiologi pragmatisme persis seperti orang yang tersesat di hutan tanpa petunjuk apapun. Dia memilih untuk rehat sambil menikmati semua perbekalan dan menunggu sebuah helikopter datang membantu, tidak pula membuat asap, kain putuh, cermin atau sinyal-sinyal lain untuk memberi tanda mana tau ada yang datang untuk mencarinya dan membantu. Orang yang hidup di bawah naungan sebuah prinsip idealitas adalah yang dila tersesat di hutan dia terus berjalan lurus dengan harapan menemukan sungai atau perkampungan Dia terus mengibarkan bendera putih dan menghemat logistik sejadi-jadinya.
Tidak ada grafik dalam sebuah tabel yang terus beranjak naik, dia pasti akan menurun, naik lagi demikian seterusnya. AS, UE dan negara-negara maju lainnya suatu saat pasti akan mengalami destruksi. Indonesia sekarang sebagai negara paling terbelakang akan menguasai dunia. Camkan! Sejarah membuktikan negara-negara paling maju akan runtuh akibat tangan negara paling terbelakang di zamannya. Tidak ada yang mampu memprediksikan keruntuhan dua kerajaan besar, Romawi dan Persia lewat tangan bangsa Arab yang terkenal chauvanistik, terbelakang dan bodoh. Kejayaan Arab yang gilang-gemilang dari Andalusia hingga Nusantara berpusat di Baghdad ternyata luluh-lantak ditangan bangsa Mongol yang bahkan tidak punya rumah.
Bangsa terbelakang punya semangat dan mimpi. Ketika semangat itu bersatu dengan mimpi maka timbullah komitmen tangguh dalam semangat mewujudkan mimipi. Karena langit itu berbatas, maka negara-negara yang telah mencapai puncak kejayaannya tidak ada yang akan terjadi kecuali keruntuhan. Masyarakatnya telah sibuk dalam aktivitas rutin yang tidak lagi membuat otak mereka terus berputar. Bila otak berhenti berputar maka nalar dan imajinasi akan berhenti, sel-sel otak tidak lagi semakin hudup. Pasif. Maka saat itulah tiba masa keruntuhan. Indonesia adalah negara yang luas, secara geografi strategis, SDA melimpah di dalam dan atas tanah dan di dalam laut, dengan masyarakat yang mudah diatur dan giat bekerja. Bila potensi itu disempurnakan dengan prinsip idealitas dan ideologi yang mantap dan teguh, maka tidak lama lagi negeri ini akan menjadi negara paling maju di dunia: Liberalisme tidak mungkin diterima sebagai idealitas dan prinsip karena semua orang tau Liberalisme itu gagal; Komunisme takkan hidup ditengah masyarakat yang semua menganut agama dengan teguh. Saya memperkirakan Islam akan menjadi prinsip dan ideologi semua warga negara Indonesia. Islam memiliki semua panduan dalam hidup untuk segala bidang. Islam memberi petunjuk hidup ideal mulai dari urusan buang air besar dan kecil hingga politik dan hubungan internasional.
Langkahnya adalah kaum muslim harus mampu meyakinkan nonmuslim akan realistisnya prospek Islam melalui lisan dan perbuatan mereka. Organisasi-organisasi Islam, bagaimanapun bentuk dan sifatnya, harus mampu mengawal akidah ummat Islam dan memperbaiki dan mengawasi sistem pemerintahan agar benar-benar bersih dari kecurangan dan pencurangan.
Indonesia? Saya yakin...!!!

Nanggroe Aceh Menjelang Pilkada

Di sejumlah daerah, Aceh tergantung kepada partai lokal. Hanya saja, Partai Aceh menjadi dominan Tahun depan, Provinsi Aceh melaksanakan pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) untuk kedua-kalinya. Sudah hampir lima tahun Aceh dibangun oleh kepala-kepala daerah hasil pilihan rakyat. Tipologi kepala daerah kebanyakan datang dari calon perseorangan. Sementara yang didukung oleh partai politik nasional jarang terpilih dalam Pilkada 2006.
Implikasinya adalah hubungan antara kepala-kepala daerah dengan legislatif daerah menjadi kurang kompak menjelang Pemilu 2009. Peran legislator daerah kurang maksimal. Pasca Pemilu 2009, partai lokal menguasai legislatif daerah di sebagian besar daerah kabupaten dan kota. Persoalan utama muncul, yakni kelemahan dalam bidang manajemen pemerintahan daerah.
Bagaimanapun, para legislator yang diterjunkan dalam Pemilu 2009 dari Parpol lokal berasal dari kombatan dalam konflik Aceh versus Jakarta. Jangankan untuk memahami keseluruhan produk perundang-undangan, bahkan dalam berbahasa Indonesia saja mengalami kesulitan. Sekalipun begitu, sebagai produk politik dalam sistim demokrasi, keadaan ini tidak terlalu dipermasalahkan. Lembaga-lembaga internasional dan nasional bahu-membahu dengan pegiat-pegiat lokal dalam melakukan pendidikan ketata-negaraan.
Partai-partai politik nasional juga tahu diri. Dalam menghadapi kelemahan-kelemahan sumberdaya manusia itu partai nasional justru lebih banyak menahan diri. Sikap oposisi tidak terlalu ditunjukkan terhadap partai lokal. Kerjasama dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan pemerintahan. Situasi ini menyebabkan Aceh berada dalam suasana yang kondusif. Kegiatan investasi berlangsung baik.

Kandidat perseorangan
Bagaimana kini? Di sejumlah daerah, Aceh tergantung kepada partai lokal. Hanya saja, Partai Aceh menjadi dominan. Pada prinsipnya, hegemoni terjadi, sehingga mengurangi peluang kehadiran kandidat dari partai lain. Tingkat kemenangan di atas 70% menyebabkan Partai Aceh menjadi partai yang berhak mengajukan pasangan calon dalam Pilkada. Akibatnya, partai lain mengalami sedikit peluang.
Hal ini pada gilirannya menyulitkan suksesi politik dalam Pilkada. Bahkan ada daerah yang potensial menghadirkan pasangan tunggal, karena partai politik lain tidak bisa mengajukan pasangan calon. Kebuntuan ini sedang diuji di Mahkamah Konstitusi, mengingat UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh hanya membolehkan sekali saja Pilkada dengan kandidat perseorangan. Padahal di daerah lain di luar Aceh, justru kandidat perseorangan diperbolehkan tanpa batasan waktu. Kehadiran kandidat perseorangan di daerah lain itu jug berdasarkan pertimbangan bahwa Aceh memberlakukannya.
Guna menghindari dualisme hukum di Indonesia, selayaknya Aceh juga menerima (kembali) kehadiran kandidat perseorangan dalam Pilkada 2011. Kondisi ini akan mengakhiri kebuntuan politik akibat dominasi satu partai politik saja. Bagaimanapun, undang-undang bisa saja keliru dalam memberikan tafsiran atas demokrasi. Kekeliruan itu terbukti di Aceh. Batasan dalam undang-undang menyebabkan tidak ada Parpol yang bisa mengajukan pasangan calon dalam Pilkada.
Penolakan dari sejumlah kalangan untuk pemberlakuan kandidat perseorangan ini menunjukkan bahwa akses politik warga Aceh bisa terbatasi. Justru dalam zaman demokrasi. Maka, cara-cara konstitusional untuk mengembalikan hak warga untuk mencalonkan diri tanpa jalur partai politik itu layak dilakukan. Belahan Indonesia yang lain bisa, kenapa Aceh tidak?

Pembelajaran untuk Indonesia
Dalam kancah politik yang lebih tinggi, DPR RI mestinya belajar dari kondisi Aceh ini. Dalam menyusun legislasi nasional, selayaknya tidak lagi dibuka kemungkinan partisipasi politik menjadi hilang, karena persyaratan yang sengaja dibuat untuk mengurangi peserta Pilkada.
Pilpres 2009 bisa saja kehilangan kontestan, seandainya koalisi politik tidak terjadi. Hanya satu partai politik saja yang memenuhi syarat mengajukan pasangan Capres-Cawapres secara sendirian, yakni Partai Demokrat. Sisanya harus berkoalisi atau terpaksa berkoalisi.
Pelajaran mahal ini mestilah mewarnai penyusunan paket undang-undang bidang politik. Syarat-syarat yang lebih longgar idealnya dilakukan untuk menghindari kebuntuan politik. Syarat dukungan kursi legislatif atau jumlah suara sah dalam Pemilu legislatif untuk Pilpres layak dikurangi. Begitupula, bukan saatnya lagi melibatkan partai politik dalam penyelenggaraan Pemilu.
Mengapa? Coba bayangkan apabila penyelenggara Pemilu dimasuki kalangan partai politik. Boleh saja di KPU Pusat terdapat 9 wakil partai politik dari 9 partai politik. Bagaimana kalau di Aceh? Seandainya ada 5 orang anggota Komite Pemilihan Independen Aceh, bisa saja 4 orang berasal dari satu partai politik lokal yang dominan di Aceh saat ini. Dan gambaran tadi bisa terjadi dalam bentuk berbeda di daerah lain.
Intinya, Aceh memberikan pengetahuan baru tentang dominasi dan hegemoni yang pada gi

Kita Ada Didunia Ini Untuk Belajar & Dunia Menjadi Guru Kita

Pernahkah anda menyadari sejak anda masih bayi sampai sekarang apa saja yang sudah anda pelajari? Tentu tidak bukan? Semuanya terjadi begitu saja tanpa kita sadari. Hidup didunia ini sangatlah cepat berlalu. Dalam sekejap mata, kita yang dulunya masih duduk di bangku sekolah sekarang sudah ada dimeja kantor. Semua itu berjalan tanpa terasa. Saya pikir, semua orang pasti pernah berniat untuk mencoba sesuatu yang baru. Kalau saat ini anda sedang memikirkan hal itu, saya sarankan segeralah mencoba. Berhenti untuk memikirkan hal2 buruk yang hanya akan menghentikan langkah anda. Seorang teman pernah berkata pada saya, "sedikit berpikir, perbanyak berbuat". Awalnya saya kurang mengerti dengan maksud dari kata2nya itu. Setelah berpikir lumayan lama, saya mulai mengerti maksudnya..
Segala sesuatu hal, jika hanya selalu kita pikirkan dan tidak pernah langsung kita coba, semua akan sia2 saja. Tidakkah sangat menyayangkan apabila sebuah ide yang cemerlang hanya terus bersarang diotak kita? Atau mungkin bisa terlupakan begitu saja? Saya tahu, pasti anda sering memikirkan suatu ide2 cemerlang yang disertai dengan resiko2nya. Memang tidak salah. Tapi pernahkah untuk sejenak saja anda ingatkan diri anda bahwa resiko2 yang anda bayangkan itu hanya ada dipikiran anda. Belum tentu itu akan benar2 terjadi. Memang saat kita menjalankan suatu hal, kita selalu dihadapkan dengan masalah2. Baik itu masalah ringan ataupun masalah berat. Tapi yakinlah, masalah yang datang itu tidak akan terlalu berat bila kita menghadapinya dengan berpikir positif! Jangan karna sedikit masalah lantas anda memutuskan untuk berhenti & mundur. Sayang sekali! Mari kita sama2 belajar dari perjuangan seorang balita dari merangkak sampai dy bisa berjalan dan berlari.
Saya percaya anda semua pasti pernah melihat seorang balita yang bekerja keras dari masa merangkak sampai dy memberanikan diri untuk berdiri dan berjalan. Saya yakin, balita tersebut tidak pernah memikirkan apa yang akan terjadi padanya saat sang ibu melepaskan pelukannya dan membiarkan dy berdiri sendiri. Saat balita itu mencoba untuk pertama kalinya melangkahkan kaki, dy pasti akan terjatuh, seterusnya menangis. Balita tersebut tidak akan berhenti sampai disitu, dy pasti akan terus mencoba dan mencoba sampai dy bisa berjalan dengan lancar bahkan bisa berlari.
Sama halnya seperti anda. Apabila ide2 cemerlang itu hanya ada dibenak anda dan tidak pernah anda coba untuk mengeluakannya, maka selamanya anda hanya akan bisa merangkak. Jika anda ingin merubah hidup anda, anda harus berani mencoba dan terus mencoba. Tidak ada hal yang tidak mungkin didunia ini. Semua tergantung anda yang merubahnya menjadi mungkin. Jangan takut, jangan ragu! Tiru keluguan seorang balita. Anda pasti bisa berlari pada akhirnya. Percaya pada dunia. Ada banyak hal yang sedang menanti anda untuk anda pelajari. Jadi, tunggu apa lagi?? Mari kita merubah diri dari merangkak sampai berlari! Jangan takut pada prosesnya! Karna kelak anda pasti akan berterima kasih dengan proses tersebut. Tanpa proses anda tidak akan bisa menjadi maju!
Selamat berjuang! Anda PASTI BISA!

Mahasiswa sebagai Agent of Control ?

Dari awal mahasiswa sudah ditanamkan pemikiran bahwasanya mereka adalah agent of change dan agent of control. Itulah ucapan yang selalu diungkapkan oleh para aktifis senior ketika harus berbicara didepan yunior untuk menyampaikan materi terkait peran mahasiswa. Namun masih sedikit yang paham akan kedua peran tersebut dan lebih mirisnya lagi hanya sedikit yang peduli terhadap lingkungan sekitar hal ini terkait sifat apatis yang dibawa dari masa sekolah dulu.

Menurut saya sebagai kaum terdidik yang hidup dilingkungan masyarakat maka mahasiswa memiliki beberapa peran yang harus diemban yaitu:

1. Mahasiswa sebagai iron stock, yaitu mahasiswa diharapkan menjadi manusia tangguh yang memiliki kemampuan dan akhlak mulia yang dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya.

2. Mahasiswa sebagai agent of change, yaitu mahasiswa sebagai agen dari suatu perubahan yang diharapkan dalam rangka kemajuan bangsa. Dilakukan dengan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil dan miskin, mengembalikan nilai-nilai kebenaran yang diselewengkan oleh oknum-oknum elit.

3. Mahasiswa sebagai agent of problem solver, yaitu mahasiswa harus menjadi generasi yang memberikan solusi dari setiap persolaan yang terjadi dalam lingkungan dan bangsanya sendiri. Dengan berbagai analisa dan kajian-kajian akademik yang dilakukan, semestinya mahasiswa bisa membantu jalan keluar terhadap kondisi sulit yang dihadapi oleh pengambil kebijakan.

4. Mahasiswa sebagai agent of control, yaitu mahasiswa berfungsi sebagai kapten dari kapal pemerintahan yang mengawasi penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh nahkoda pemerintahan.

Seharusnya mahasiswa sudah mulai menjadi director of change dimana peran mahasiswa lebih kepada pengarah perubahan. Jika dikaji lebih lanjut maka peran director of change dilaksanakan setelah beberapa peran sebelumnya. Sehingga, ketika mahasiswa mampu melakukan perubahan terhadap suatu kebijakan maka mahasiswa tidak lantas melepas perubahan yang telah terjadi. Mahasiswa harus mampu mengarahkan perubahan yang didapat menuju implementasi dari rencana yang telah dipetakan. Sehingga impian-impian yang telah disusun dan dituntut dapat dicapai dan dirasakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. bahwasanya beberapa peran diatas belum memadai.

Dari beberapa peran mahasiswa yang ada, dapat ditarik garis besar bahwasanya tujuan dari peran tersebut adalah menjamin dan menjaga kepentingan rakyat diatas kepentingan individu atau golongan. Karena sejatinya mahasiswa, pemerintah, anggota dewan, pejabat eksekutif pemerintahan dan seluruh orang di suatu Negara adalah satu yaitu rakyat. Dengan demikian maka para pembuat kebijakan harus berfikir sebagai rakyat yang akan merasakan dampak positif maupun negatif dari suatu kebijakan dan mahasiswa harus mampu menjaga dan mengawasi setiap langkah yang terkait kebijakan pemerintah terhadap rakyat.